Pages

Menaklukkan London Bermodal 10 Pounds


Khayalan Firdaus muda membubung jauh ribuan kilometer ketika pada 1981 membaca berita rencana pernikahan Pangeran Charles dan Putri Diana. Kernet omprengan di Jakarta ini lantas bertekad, ”Saya harus ke Inggris, nonton langsung pernikahan terbesar abad ke-20!”

Siapa pun mendengar khayalan tingkat tinggi Firdaus Ahmad (56) alias Daus, panggilan akrabnya, ketika itu, tentu saja tak menganggapnya serius. Orang mungkin menganggap kernet omprengan jurusan Bekasi-Pulo Gadung–Kampung Melayu ini sudah gila. Namun, Daus yang banyak akal dan berjiwa bebas ini tak surut tekad.

Ayah Daus, mendiang Ahmad Syahri asal Indramayu, kiai Nahdlatul Ulama, pernah pula menjadi sekretaris Wahid Hasyim, ayah Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Ibunya yang asli Betawi, mendiang Murni Syahri, adalah guru mengaji.

”Saya dulu punya paman yang bekerja sebagai sopir Kedutaan Besar Republik Indonesia di London. Saya nekat kirim surat ke beliau berkali-kali untuk minta dikirimi tiket pesawat ke London, nonton pernikahan akbar itu,” kenang Daus, yang kini sukses menjadi pengusaha restoran, penginapan, dan agen perjalanan umrah di London.

Surat-surat yang dikirimnya ke Musa, nama sang paman, rupanya malah berbalas surat yang berisi teguran. ”Kalau saya terima balasan surat dari dia (Musa) dan baca di awalnya sudah marah-marah, enggak saya terusin baca. Langsung balas kirim surat lagi minta di-kirimin tiket ke London,” ujar Daus tertawa.

Pernikahan Pangeran Charles dan Putri Diana yang berlangsung Juli 1981 akhirnya terlewati. Namun, sang paman rupanya benar-benar mengirimkan tiket pesawat Garuda Indonesia kepada Daus melalui pos. Mimpi Daus terkabul.

September 1981, Daus tiba di London. Anak ke-5 dari 10 bersaudara ini hanya berbekal 10 poundsterling di kantongnya, pemberian salah satu kakaknya. ”Saya enggak ngerti apa-apa. Di pesawat waktu disuruh ngisi kartu imigrasi, saya minta diisikan pramugari. Alasan saya, tangan lagi sakit,” ujar Daus.

Begitu pula ketika tiba di Bandar Udara Gatwick, sekitar 47,5 kilometer dari pusat London. Daus bahkan tak mengerti kata exit yang berarti pintu keluar. Dia akhirnya mengikuti saja arus penumpang berjalan ke luar pesawat. Di luar bandara, Daus melihat punggung sesosok laki-laki yang berpakaian batik, satu-satunya di antara kerumunan. Daus pun langsung menebak sosok itu adalah pamannya dan meneriakkan namanya.
Merintis usaha

Ketika itu, sang paman rupanya tinggal di sebuah bilik sempit di rumah Duta Besar Indonesia untuk Inggris. Bilik itu begitu sempitnya hingga mereka berdua harus tidur dalam posisi menggelikan—kepala Daus bertemu kaki Musa dan sebaliknya—supaya napas mereka tak beradu.

Selama di London, Daus kerap ditinggal sang paman yang sibuk bekerja. Daus pun akhirnya mencoba kursus bahasa Inggris yang disediakan pemerintah bagi para imigran agar mendapat izin bekerja setelah memperpanjang visa.

Daus lalu mencari peruntungan dengan mengawali bekerja di restoran masakan Indonesia, Malaysia, dan Singapura yang bernama Melati. ”Saya lalu banyak kerja di berbagai restoran, mulai dari tukang cuci piring, potong-potong, bersih-bersih, sampai masak, begitu bertahun-tahun,” cerita Daus.

Kehidupan yang keras di negeri perantauan dihadapi Daus dengan tabah dan optimisme yang tak mudah surut. Daus bertemu dengan Usya Soeharjono (50) dan menikah. Pada awal 1990 Daus dan Usya mendengar informasi soal restoran masakan Singapura yang disita sebuah bank karena tak sanggup melunasi utang. Daus pun lantas nekat mengambil alih restoran bernama Nusa Dua itu dan bersedia mencicil seluruh utang restoran dalam jangka panjang kepada pihak bank. Skema yang diajukan Daus pun akhirnya disetujui pihak bank, yang justru terhindar dari kerugian ketimbang hanya mengambil alih restoran.

”Saya lalu mencicil ke bank bermodal pemasukan restoran. Caranya dengan efisiensi besar-besaran di manajemen restoran. Enggak pakai pemasok lagi, belanja sendiri ke pasar, dan membuang biaya-biaya pengeluaran lain yang tak perlu,” kata Daus.

Sejak itulah, restoran Nusa Dua di kawasan Soho itu resmi menjadi restoran masakan Indonesia yang jumlahnya hanya segelintir di London. Pengunjung datang dari berbagai kalangan, mulai dari politisi dan pejabat Indonesia, selebritas Indonesia, sampai selebritas internasional. Sebut saja, mantan personel Beatles, Paul McCartney, penyanyi Sade, hingga juri American Idol, Simon Cowell.

Meski telah menjadi pemilik restoran, Daus tetap tak ragu turun bekerja bersama delapan pegawainya yang berasal dari berbagai bangsa di Eropa. Daus kerap melayani tamu, mencuci piring, berbelanja ke pasar, hingga memasak.

Setelah lebih dari 20 tahun berdiri, Daus dan Usya kini mengembangkan bisnis restorannya. Daus membeli sebuah bangunan restoran yang lebih besar di kawasan Shaftesbury Avenue. Bangunan yang semula dijual seharga 500.000 pounds itu akhirnya berhasil ditawar Daus seharga 285.000 pounds. Mulai Maret mendatang, restoran Nusa Dua berpindah ke gedung baru berlantai dua tersebut, berkapasitas hingga 150 orang. Nusa Dua Restaurant pun akan kian mapan menjadi ”agen” promosi kuliner Indonesia di London.

Pada bangunan baru ini pula, Daus dan Usya berencana membuat sebuah pojok promosi multimedia bagi turisme Indonesia. ”Kami ingin London yang kawasan turis ini bisa kami manfaatkan untuk menjaring banyak turis internasional agar lebih mengenal Indonesia dan berkunjung ke Indonesia.”

Sejak 2008, cakupan usaha Daus juga melebar ke penginapan yang bernama Wisma Indonesia, di kawasan Colindale. Penginapan sederhana berkapasitas 40 orang ini menjadi pilihan hemat bagi orang Indonesia yang singgah di London yang berbiaya serba mahal.
Selain restoran dan penginapan, sejak dua tahun lalu Daus juga menjalin kerja sama dengan First Travel di Indonesia, sebuah agen perjalanan umrah. Daus menyimpan mimpi baru membesarkan agen perjalanan haji dan umrah bagi umat Islam di Inggris, termasuk bagi perantauan warga negara Indonesia di Inggris.

Tahun 2014 Daus dan Usya menggelar ”Hello Indonesia” di kawasan bergengsi Trafalgar Square, London. Acara promosi turisme Indonesia yang juga didukung oleh KBRI di London itu didatangi sekitar 15.000 pengunjung. Wali Kota London Boris Johnson pun kemudian menawarkan langsung kepada Daus dan Usya untuk menggelar kembali ”Hello Indonesia” pada Juni 2015.

”Moto saya biasa saja, apa yang ada ditekuni saja, optimistis itu penting. Tuhan, kan, ada, jadi tinggal rajin usaha, berdoa, dan yakin berhasil,” ujar Daus.

Penulis: Sarie Febriane 
Sumber: Kompas